14.4.08

Sebuah Pelajaran Hidup

Akhirnya...aku dapat menuntaskan bacanku. Laskar Pelangi. Sungguh cerita yang sangat mengharukan. Di dalamnya terdapat kisah 10 anak yang menamakan diri mereka sebagai laskar pelangi. Mereka yang dipertemukan di sekolah kampung yang lebih mirip dengan gedung kopra. Mereka sangat menyukai duduk di dahan filicium yang tumbuh harmonis dengan burung-burung dan memandang kagum ke arah setengah lingkaran yang berwarna-warni, pelangi. Kisah mereka penuh dengan canda, tawa, dan haru. Andrea Hirata, sang penulis kata, berhasil menyihirku untuk terus menekuni kata demi kata yang dia untai dalam laskar pelanginya.
Tak ayal, aku berhasil melahap buku tersebut dalam tempo 72 jam. Waktu yang cukup singkat menurutku. Bagaimana tidak, laskar pelangi kusisipi di antara aktivitasku yang cukup menghimpitku. Di atas angkot yang membawaku menuju JILC kusempatkan untuk menikmati karya Andrea Hirata. Sepulangnya, kubuka lagi buku cetakan ke-18 itu dan menelusuri kisah Lintang dkk.
Yah, tokoh yang paling kusukai adalah Lintang. Sosok anak yang berhasil memberikan pencerahan kepada ke-9 temannya. Dirinyalah yang membukakan mata bahwa mereka perlu memiliki cita-cita. Ia laksana teman sekaligus guru bagi teman-temannya. Di dalam tempurung kepalanya, tersimpan otak yang terus bekerja, berpikir. Semangatnya untuk belajar sangat tinggi walau ia memiliki keterbatasan ekonomi.
Namun, nasib Lintang tidak berubah. Pada akhirnya, ia menjadi lebih akrab dengan kemiskinan. Di saat ayahnya dijemput ajal, ia harus mengambil peran ayahnya selaku anak laki-laki sulung di keluarganya, menghidupi 14 perut anggota keluarga lain. Tragis!
Bagian ini membuatku terharu. Tuhan sangat tidak adil, pikirku. Ingin kuambil alih peran Andrea Hirata dalam mengakhiri kisah ini.
Aku ingin Lintang berdiri di hadapan mahasiswa. Badan tambunnya, tanda kemakmuran, dibalut oleh kemeja putih dan bersih. Berbagi ilmu dan berdiskusi dengan mahasiswa. Membantu mahasiswa menyingkap kebenaran atas ilmu fisika dan matematika. Bukan berbagi kekuatan dan menjadi buruh di PN Timah! Sayang sekali raja brana Belitong itu tidak bisa keluar dari kemiskinan, masalah global yang tak akan pernah ada habisnya untuk dicarikan solusinya.
Semangat sosok imajiner Andrea Hirata ini menginspirasiku. Semangat belajar dan terus membaca walau keterbatasan ekonomi menghimpitnya.
Dari Lintang, aku belajar bersyukur. Syukur atas keadaan orang tuaku yang bisa menyekolahkanku hingga ke perguruan tinggi. Kumengingat perkataan seniorku pada suatu sore. Lebih tepat kukatakan kuliah tentang mensyukuri hidup.
”Pernahkah kita bersyukur atas nikmat yang Dia berikan?”
”Kecilnya saja dulu, pernahkah kita bersyukur karena kita terlahir normal sehingga bisa melakukan aktivitas tanpa keterbatasan?”
”Pernahkah kita bersyukur karena hari ini kita sehat?”
Tak pernah, jawabku membatin.
Kuliahnya terus mengalir dan mengisi rongga hatiku yang sangat haus dari siraman rohani. Hatiku kering sangat merindukan kuliah yang seperti ini.
Wake up in the morning it’s not mean u must to work again. It’s mean God Loves U so much coz he gives u a chance for a life time, to let u better than yesterday!!
Atas sosok Lintang dan perkataan seniorku itu, kuberdiri dari tempat tidurku. Kutak mau kemalasan menjadi teman akrabku!! Kuberanjak ke meja belajarku yang sangat tidak karuan. Penduduknya berserakan, tidak beraturan. Buku-buku, ikat rambut, jam tangan, charger hp, kertas-kertas, botol aqua mengharap perhatianku. Kubersihkan mereka dari polesan debu. Kuambil salah satu bukuku yang memuat teori Ilmu Komunikasi. Kubaca daftar isinya dan mencari kata semiotika.
Minatku terhadap kata itu menyeruak. Ingin kuselami ilmu itu. Semangatku untuk mengerjakan proposalku tak bisa dibendung. Biarlah harus mulai dari awal dulu. Membaca.
Jika kutersandung batu pesimis di tengah perjalananku, ku akan membaca lagi tulisan ini. Tulisan yang kubuat saat semangat menghampiriku.

140408

Tidak ada komentar: