1.2.09

ada bom!!!

adrenalinku memuncak ketika kuliat penghuni mal ini berlari menuju pintu keluar sambil berteriak, "ada bom!!!"
sontak unconsius-ku memaksaku mengikuti mereka. tidak kuhiraukan orang di sekitar yang melihatku karena kuyakin kami satu rasa yaitu panik..

mulutku tiak berhenti komat-kamit melafalkan doa agar yang kuasa mengampuniku jika seandainya aku benar-benar menjadi korban di mal ini.

hufh!!

aku lega ketika aku sudah berada di warnet ini yang jauh dari mal itu dan menuliskan kejadian ini..

aku selamat...

3.1.09

what's ur idea?

“Susan…susan…kalau gede mau jadi apa?”

Lagu Kak Ria Enes yang merupakan soundtrack dunia kecilku masih tersimpan rapi di benakku. Sewaktu masih kecil seringkali orang tua atau kakak sedikit “menguji” dengan menanyakan apa yang menjadi cita-cita kita kelak jika sudah gede. Yah, mungkin mereka hanya ingin mengetahui sudah seberapa banyak profesi yang kita kenal di usia itu. Dan bisa saja cita-cita yang terlontar kala itu mungkin hanya sebagai jawaban pertanyaan orang dewasa sewaktu kita kecil. Atau bisa saja cita-cita yang merupakan padanan kata mimpi dan impian yang terlontar di bibir mungil kita dipengaruhi oleh istana khayal yang bercokol di benak kita. entahlah!!

Dulu aku memiliki banyak cita-cita. Seiring dengan perkembangan otakku, semakin banyak profesi yang kukenal. Kala kecil, aku pun sudah bisa menjelaskan apa yang ada dalam istana khayalku itu pada teman-temanku atau saudaraku atau pada kedua orang tuaku. Waktu itu, aku sangat ingin menjadi pegawai bank. Aku terpesona pada tetanggaku dengan balutan seragam yang digunakannya. dengan make up yang menempel di wajahnya. wajahnya agak berwarna, tetapi tidak terlalu menor, membuat wajahnya makin sangat enak dipandang. Penampilannya yang jika dibandingkan dengan penampilan kantor tetanggaku yang lain sangatlah beda. Mungkin inilah yang membuatku tertarik pada profesi ini karena sebagian besar tetanggaku berprofesi yang sama dengan kedua orang tuaku. Otomatis pakaian seragamnya pun sama. Coklat, warna seragam pegawai negeri sipil. Suatu pekerjaan sejuta umat setelah dokter.

Pegawai bank mungkin cukup lama menempati istana khayalku. Namun, dia tidak sendiri di sana. Perannya dalam menjawab pertanyaan tentang jadi apa dirimu kelak sering diganti dengan polisi wanita, dokter, atau guru. Profesi yang memiliki kesamaan: menjadi pahlawan bagi negeri ini.

Namun, ketika aku duduk di bangku SMA, pegawai bank terdepak dari benakku. Posisinya digantikan dengan profesi yang memiliki prestise tinggi: dokter. Profesi yang sangat diimpikan oleh (hampir) semua orang. Almarhumah Mamaku juga sangat menginginkan aku menjadi seorang dokter. Mungkin di pikirannya dengan menjadi dokter, kita tidah susah lagi bersaing dengan pencari kerja lainnya. Dokter memilki lahan sendiri. Lagipula aku yang notabene adalah siswa di sekolah yang berstatus andalan akan sangat malu jika tidak berhasil menjadi dokter. Malu bertemu dengan tetangga apalagi dengan guru jika tidak bisa menjadi dokter.

Tahun 2003 merupakan kesempatanku untuk mengubah impian itu menjadi kenyataan. Aku menempatkan dokter di pilihan 1 pada formulir SPMB-ku. Diikuti dengan jurusan (saat ini sudah menjadi fakultas) yang juga memiliki banyak peminat, farmasi. Namun, Tuhan tidak begitu saja mengabulkannya.

Tahun 2004 merupakan kesempatanku untuk mengubah impian itu menjadi kenyataan. namun, kali ini yang kedua. Aku memiliki strategi. mengambil formulir IPC yang memberikan kita tiga pilihan. tercatat sebagai mahasiswa di unhas adalah impian terbesarku kala itu. Namun, tetap dokter menjadi prioritas utama, diikuti oleh farmasi, dan ilmu komunikasi. pilihan pertama dan kedua sudah sangat kukenal. Beda dengan ilmu komunikasi. Gaungnya tidak pernah sampai di telingaku. Aku pun tidak tahu jadi apa kita kelak jika kita menimba ilmu di ilmu komunikasi. Dia hanya menjadi cadangan. Kalau saja aku tidak beruntung lagi lulus di pilihan pertama dan kedua, toh aku memiliki peluang menjadi mahasiswa di unhas.

Bulan Agustus tahun 2004 aku menemukan namaku di tabloid keluaran universitas yang khusus terbit untuk menjawab penantian sebulan para calon mahasiswa. Aku berhasil masuk di unhas, tetapi tidak berhasil keluar dengan gelar dokter ataupun gelar apoteker. Dokter sejak itu absen di daftar impianku. Tergantikan dengan profesi yang sesuai dengan studiku, jurnalistik, yaitu wartawan. Mengabarkan peristiwa kepada dunia menjadi cita-citaku di kala usia studiku di unhas masih seumur jagung. Aku pun ikut pelatihan-pelatihan yang dapat mengenalkanku pada dunia itu.


sekarang, saat gelar akademik sudah melekat di belakang namaku, aku punya cita-cita baru...cepat2 melepaskan status pengangguran..kerja apa saja...asal jangan jd *****..(hha)

2.12.08

influenza

Untuk kesekian kali aku harus menanggung kiriman virus yang tak kuketahui juga darimana asalnya. Entah mengapa tubuh ini begitu lemah untuk menangkal serangan virus ini. aku mulai menyadari diriku sangat gampang sakit akhir-akhir ini. mulai gampang influenza dan yang pastinya virus ini tidak hanya menyerang organ pernapasanku. Ia akan melanjutkan perjalanannya di organ tubuhku yang lain, seperti kepala dan leher. Kalau aku sudah mendapat virus ini, tubuhku harus siap menahan sakit yang luar biasa mendera kepalaku. Seperti hari ini. aku harus mengalah dengan virus ini. memutuskan tidak beraktivitas di luar rumah dulu. Memilih meringkuk di depan tv menemani kaka ammi mengeloni afif.
Membuatku tidak keluar rumah adalah bentuk negoisasiku dengan virus ini, tapi masih bisa kumaafkan. Namun, mencium bahkan untuk mendekat dengan afif saja adalah kesalahan yang harus virus ini tanggung jika aku sembuh. Sejak influenza dua hari lalu aku dilarang keras mendekat dengan afif. Sangat rentan baginya untuk menanggung virus ini di tubuhnya sementara organ pernafasannya belum sempurna. Ini yang kudapat dari kakakku. Namun, naluri tante (baca: predator) seakan mengkhianati janjiku pada bundanya untuk tidak mendekat. Kucoba mencari perhatian bundanya supaya aku diizinkan untuk menidurkannya di ayunannya. Melihatnya melalui kelambu ayunannya sudah sangat cukup bagiku. Kadang-kadang aku mulai membuka kelambunya dan mendaratkan mukaku ke bagian perutnya.
Intinya sangat susah melepaskan diri dari muka polos afif yang sudah beranjak satu bulan. Ah, aku ingin cepat menghilangkan virus ini dari tubuhku. namun, bagaimana bisa? Bapak, kaka ammi, serta kaka yaya sampai memarahiku karena keras kepalaku tidak ingin menenggak obat. Aku malas memasukkan zat-zat kimia yang diklaim bisa menyembuhkan influenzaku dari tubuhku. aku tidak suka minum obat. Kubiarkan tubuhku merasakan sakit supaya aku bisa lebih menghargai kesehatan.